Powered By Blogger

11 Desember, 2009

MUNGKINKAH...





Mungkinkah aku terbang
Menggapai langit
Menggenggam bintang
Memeluk bulan

Mungkinkan aku merayu mimpi
Bercumbu dengan angan
Bercanda dengan bayangan
Menikmati yang tak dirasakan

Mungkinkah aku tidur lelap
Tujuh hari tujuh malam
Agar aku tak melihat
Sengsara dan nestapa

Mungkin aku terus berjalan
Melindasi duri kehidupan
Agar aku cepat ke titik cakrawala
Untuk melupakan luka dan duka

Mungkinkan aku bisa tertawa
Sampai setengah abad
Biarlah orang menganggapku tak waras
Tapi aku bangga karena derita menghindar

Mungkihkah aku menembus bumi
Biar intan dan permata tersemat di dada
Kan kulingkarkan di leherku
Sebagai tanda aku perkasa

Mungkikah.......

10 Desember, 2009

Ngaji Giliran (Doa bergilir)


Saya tidak tahu apakah ini pengalaman lucu, pengalaman buruk, pengalaman pahit, manis, asin asam (lo koq kaya permen) nanti saja  komentarnya ya...saya mau ceritera dulu disimak baik-baik ya...

Bulan Mei dan bulan Oktober biasalah kita di kampung pasti setiap malam ada doa bergilir (ngaji giliran) atau kita yang di Jakarta sebutannya doa Rosario. Kami anak-anak ABK (anak baru kador) sangat rajin, hampir setiap malam selalu hadir bahkan yang pertama datang dan selalu disuruh oleh guru agama untuk teriak memanggil umat agar segera hadir (huuuuuuuu.......mai taung ge.... hu.....mai ngajieeeee......). Sebenarnya bukan  hanya doa yang merupakan tujuan kami ada tujuan lain yaitu merupakan salah satu tempat dan kesempatan untuk mengeluarkan segala ide-ide jahil, tidak enak rasanya kalau datang dan duduk manis pasti selalu ada kerusuhan kecil, biangnya ya.. siapa lagi kalau bukan ABK. Kalau ada bapak-bapak yang sedang ceritera mengandung senyum maka ditanggap oleh ABK seolah-olah ceriteranya sangat lucu karena ABK ketawanya kencang sekali dan lama. Kalau doa sedang berlangsung tangan ABK tidak pernah diam selalu aktif, tangan kiri menyusur lewat belakang lalu colek yang sebelah kanan, muka tetap ja'im dan pasang wajah alim, mulut tetap salam maria... otak berpikir apalagi yang akan dilakukan.

Dari samping kiri teman tako timung (baca tentang tako timung ya...) bisik : " ole...aku kudut pecu'ke" (saya mau kentut), lalu saya bilang : "neka pe'ang taung'y e.. kumet iwon" (jangan dilepas semua, sebagiannya ditahan). Ternyata semakin di-kumet malah keceplosan, "uuukkk..."  Bunyinya nyaring di tengah kekusyukan karena sedang mendengarkan renungan yang dibacakan oleh guru agama. Anggota ABK yang lainnya yang duduk di belakang saya sudah dari tadi dia meyimpan bau kentutnya sedang menunggu-nunggu moment ini, orang tidak curiga karena posisi duduknya meyakinkan kalau dia benar-benar sedang kedinginan. Bagian atas kainnya ditarik rapat-rapat di depan dada dan bagian bawahnya dia duduk  sebagiannya diinjak sehingga kentut yang  dia lepaskan perlahan-lahan tidak kemana-mana hanya berputar di dalam kainnya. Begitu suara uukk terdengar maka diapun bereaksi terhadap bunyi itu dan bergerak membuka kainnya  Hanya sekejap saja bau kentut sudah mampir di setiap hidung, semua bersama-sama memegang hidung, mata jelalatan (mbili-mbalak) mencari siapa pelakunya. Kalau kata pepatah  'siapa yang berkotek maka dia yang bertelur'  memang tepat sekali dengan apa yang kedua teman saya lakukan, malah mereka reaksinya berlebihan, nuduh sebelah kiri, kanan, depan dan belakang.
Selesai berdoa anggota ABK selalu mendapat tugas untuk mengangkat nampan yang berisi kopi dan teh lalu mengedarnya, terkadang kalau yang empunya rumah persiapannya kurang maka anggota ABK pasti selalu tidak kebagian atau lagi asyik-asyiknya menikmati kopi karena dapatnya paling belakang tiba-tiba ada yang pamit pulang, kalau  kopinya hangat atau dingin, sekali tenggak, habis, tetapi kalau kopinya panas, cukup dilirik lalu pindahkan gelasnya ke tempat aman agar tidak kesenggol orang dan ikutan pamit pulang. Kami lakukan ini dengan senang hati tidak kenal malu dan malas, sehingga ibu-ibu dan bapak-bapak senang kalau kami ada walaupun kadang-kadang menjengkelkan.
Lain waktu sebelum berdoa, guru agama menyuruh kami agar jangan duduk di dalam rumah lebih baik duduk di luar saja. Depan pintu masuk rumah ada pagar (kena), biasa... pagar pekarangan rumah. maka duduklah kami di atas pagar itu sambil bercanda dan ceritera yang amburadul dan ketawa habis-habisan seolah-olah besok sudah tidak boleh ketawa lagi.
Ada beberapa doa dalam bahasa indonesia kami plesetkan dalam bahasa manggarai, misalnya.... nanti saja sabar ya....
Dari dalam rumah terdengar lagu pembukaan maka cerita amburadul kamipun berhenti dan ikut bernyanyi menyumbangkan suara sumbang sambil goyang kaki duduk di atas pagar. Kalau pemimpin lagu menyebutkan nomor lagu yang akan dinyanyikan maka salah satu anggota ABK memulainya lebih dulu lalu diam lagi dan kalau nyanyiannnya sudah selesai, lagi-lagi ada saja anggota ABK menyanyikan nada yang terkahir agak lama walaupun semua sudah diam karena lagunya sudah selesai.. Di ujung ibadah guru agama mengucapkan: : "Hati Yesus yang Amat Baik....", umat dalam rumah menjawab :  "Doakanlah kami...", ABK menjawab : "doal kena dami..", "doal kena dami..."  belum sampai yang ketiga, doa ABK terkabul.  "Gubrak......krakkkk...", Pagar yang kami duduk roboh, semua mata dari dalam rumah serentak memandang ke arah pintu mencari sumber bunyi, doa sejenak berhenti lalu guru agama melanjutkanya, kami diam-diam bebenah diri dan menahan rasa sakit, mungkin ada bagian tubuh yang tergores kena kayu pagar yang patah.

Tuhan ampunilah aku...

25 November, 2009

SOROK dan NGGOSOR


Pohon pinang banyak sekali fungsinya, akarnya direbus dan airnya diminum berguna untuk menyembuhkan penyakit tertentu, batangnya digunakan sebagai tiang rumah, daunnya dianyam untuk atap rumah pengganti alang-alang, apalagi buahnya kita semua sudah tahu. Ada satu lagi bagian dari pohon pinang yang tak kalah dengan bagian-bagian lainnya yaitu pelepahnya (selanjutnya kita sebut lungkuk). Lungkuk-nya itu sendiri juga bukan cuman satu fungsi tetapi banyak juga fungsinya antara lain :
1. Sebagai wadah tempat untuk menyimpan  
    segala sesuatu di dalam rumah.
2. Sebagai alat pengganti payung
3. Sebagai alat bantu untuk meniup api (labek)
4. Sebagai "kendaraan" untuk mainan anak-anak ( ini yang akan kita ceriterakan).
5. dan masih banyak fungsi lain selain yang saya sebutkan di atas tergantung situasi dan kondisi serta kebutuhan.


Lungkuk sebagai "kendaraan" 


Anak-anak di kota besar boleh bangga dengan mainan yang canggih yang merupakan produk pabrik, kami, anak-anak kampung yang jauh dari sentuhan modern juga bangga dengan permainan yang kami ciptakan sendiri yang merupakan warisan dari nenek moyang kami secara turun temurun tetapi selalu asyik dimainkan dan menumbuhkan rasa solidaritas serta kerjasama yang tinggi  di kalangan kami anak-anak kampung.
 Pelepah pohon pinang yang baru jatuh dari pohonnya atau sudah beberapa hari telah jatuh yang penting masih layak untuk dijadikan "kendaraan" dan tidak robek, lalu daun-daunnya dipangkas sehingga tinggal batang dan pelepahnya yang lebar. Cara main tentunya ditentukan dulu jenis permainan apa yang akan dimainkan.


Yang pertama  sorok.
Permainan sorok ini bisa dimainkan berdua saja atau beberapa orang,  ada yang naik di atas lungkuk dan ada yang menarik lungkuk. Yang duduk di atas lungkuk harus memegang pinggiran lungkuk kuat-kuat  juga menjaga keseimbangan kalau tidak mau jatuh terguling-guling (gambar kanan atas). Satu atau beberapa orang sebagai  tenaga penarik dengan memegang ujung batang lungkuk, pada si penarik inilah  cepat atau lambatnya laju lungkuk dan pengendaranya, permainan ini bisa juga diadu atau dipertandingkan dengan  beberapa orang lainnya tentu yang mempunyai lungkuk kalau  dipertandingkan maka ada aturannya yaitu jumlah peserta harus sama banyak dengan kelompok lain, jumlah yang naik dan yang narik juga harus sama banyak, ada garis start dan garis finish  kalau semua sudah siap lalu diberi aba-aba 1...2...3.. lalu tarik sekuat-kuatnya dan lari sekencang-kencangnya tentu lari sambil menarik lungkuk. kalau di tengah perjalanan ada salah seorang yang jatuh dari lungkuk maka akan didiskualifikasi tidak boleh dilanjutkan, pemenangnya adalah yang lebih dahulu mencapai garis finish dan tidak mengalami kecelakaan di lintasan pertandingan maka dialah sebagai juara, hadiah bagi para pemenang biasanya digendong oleh yang kalah dari gari finish sampai garis start atau bolak-balik tergantung kesepakatan. Selain adu kecepatan dengan teman juga hanya untuk asyik-asyik saja atau untuk kesenangan belaka mengisi waktu menjelang sore dengan bergantian antara jadi penarik dan jadi pengendara dan tidak ada aturannya hanya yang lebih dahulu naik biasanya diadakan undi yang menang tentu pertama naik, terkadang hanya mengitari rumah saja  atau bahkan dari ujung ke ujung halaman kampung.


Yang kedua nggosor

Anak di kota dengan bangga dan riang gembira bermain di taman yang telah ditata rapi jauh dari kotor dan menikmati berbagai jenis permainan, tentu ada yang gratis dan ada yang  bayar dengan waktu yang terbatas oleh jumlah uang yang dibayar kalau mau lebih lama ya... harus membayar lagi, lagi dan lagi. Salah satu jenis permainan anak-anak diantara bermacam-macam permainan ada yang namanya prosotan (gambar samping kiri), permainan ini hanya dibutuhkan keberanian seorang anak untuk meluncur di papan prosotan dari ketinggian yang sudah dirancang agar segi kecelakaan diminimalkan. Kalo bicara soal keberanian dalam permainan ini menurut saya kami anak-anak kampung jauh lebih berani karena medan dan alatnya berbeda walaupun jenis permainannya sama.
Kami anak-anak kampung juga mempunyai permainan yang serupa yang disebut nggosor. Permainan ini masih ada kaitan yang erat dengan pelepah pinang tadi (lungkuk). Lungkuk tadi dipotong dan diukir sesuai keinginan tidak ada model baku yang harus ditiru, yang penting ada bagian untuk duduk dan ada bagian untuk dipegang lalu mencari tempat yang miring biasanya tebing dengan kemiringan yang cukup aman mungkin sekitar 30 derajat dan track-nya cukup panjang agar meluncurnya lebih lama kalo lebih menantang lagi tentu dengan kemiringan yang lebih dari 30 derajat, begitu menemukan tempat yang cocok atau tempat yang biasa kami lakukan maka mulailah permainan ini. lungkuk yang sudah dipotong tadi diselipkan disela-sela paha lalu duduk bagian depan dari lungkuk dipegang dan diangkat sedikit agar tidak nyangkut di rumput atau tertancap di tanah, mulailah meluncur, diusahakan kedua kaki diangkat. Kalo luncurannya melambat kedua kaki melakukan gerakan menendang untuk mengembalikan kecepatan luncur, tidak ada alat kendali untuk bisa belok hanya mengikuti arus kemiringan tebing. untuk berhenti digunakan kedua kaki atau sudah nyangkut di pohon atau memegang rumput atau pohon disamping kiri dan kanan. kalau sudah berhenti kami lari lagi ke atas di titik awal dan meluncur lagi, lagi dan lagi.  tidak ada batasan, selesai kalau lungkuknya robek atau sudah gelap atau bapak/ibu panggil. Bagi yang agak nekat biasanya menggunakan ember bekas sebagai pengganti lungkuk karena kecepatannya bisa 3 kali kecepatan  lungkuk dan saya pun pernah menggunakan ember bekas pengganti lungkuk.wow...





03 November, 2009

Sale Roga (di roga)


Alang-alang yang sedang tumbuh subur di awal musim hujan yang terletak di sebelah kanan dari ladang kami sudah rata dengan tanah akibat tiupan angin kencang beberapa hari yang lalu, beberapa hari belakangan ini sesekali turun hujan gerimis tetapi anginnya kecang sekali terkadang tanpa gerimis turun hanya mendung saja anginnya tetap bertiup kencang. Guntur mulai menggelegar disertai petir seolah sedang membelah langit, kulihat pohon dadap, nangka, mangga, alpukat, bambu dan masih banyak pohon-pohon lainnya berlenggak-lenggok serta beradu dahan akibat tiupan angin yang lama kelamaan tiupannya semakin kencang tapi itu semua aku tak perduli, aku sedang asyik membuat jalan agar oto mainan yang telah aku buat bisa lewat, aku juga tak peduli ibu dan bapakku entah berada di sebelah mana mereka menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela jagung (reme ciwal latung) aku hanya asyik menggali serta bernyanyi riang, hujan mulai jatuh di atas kepalaku tapi aku terus menggali. "Nana....................." terdengar suara ibuku sayup-sayup ditengah ladang kami, "io........." aku jawab asal saja karena terlalu asyik dengan mainanku. Hujan semakin deras dan suara ibuku sudah tidak kedengaran lagi, aku berlari menuju pondok yang lumayan jauh dari tempat aku bermain, tiba-tiba terdengar suara ibuku dibelakang "de.......anak daku..." aku membalikkan badan dan sedikit melompot ke dalam pelukan ibu. Ibu menutupi aku dengan redung-nya (redung = sejenis kain atau bahkan handuk yang dipakai untuk menutupi kepala agar terlindung dari kotoran yang mengenai rambut atau sebagai alas menggendong keranjang) sambil menggendong aku dia berlari menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok serta licin akibat terkena hujan yang mulai mengguyur deras, aku memeluk leher ibu erat-erat sambil menahan goncangan karena kadang ibu melompat kecil untuk menghindari batu koral yang cukup tajam,.sampai depan pintu pondok kulihat bapakku melongok keluar sambil ancang-acang mungkin dia mau menyusul ibu mencari aku, begitu melihat ibu menggendong aku kepala bapakku mundur ke dalam pondok membiarkan ibu dan aku masuk. "kraaaaaaaaaakkkkkkkkk..wuusss.." terdengar suara pohon ara rubuh akibat terpaan angin disertai petir yang menyala-nyala ditengah kegelapan akibat hujan yang sangat deras yang menghujam di ladang kami. "ae.....poli paki le pasat ara hitu lau ga!" suara bapakku seolah-olah berbicara sendiri, "de .... keban ara hitu, cai di'a keta pande mbau laing eme leso tik" ibu menimpali sambil menutup aku dengan kain rapat-rapat, dalam dekapan ibu aku tidak bisa bernafas karena ditutupi rapat-rapat, kepalaku bergerak-gerak berusaha mencari celah agar aku bisa bernafas dan ingin menyaksikan apa yang sedang terjadi di luar yang membuat ibu dan bapak merasa ketakutan. Mungkin ibuku paham apa yang sedang saya lakukan sehingga dia membuka kain penutup mukaku, sambil berkata : "neka ngaok nana, usang warat ho'o pe'ang" secara naluri walaupun aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan, aku mendekap ibu erat-erta dan kepalaku tetap menoleh ke arah pintu, kulihat bapakku sibuk menggali selokkan di depan pintu pondok kami karena air hujan berusaha masuk kedalam pondok.
Hujan terus mengguyur pondok kami, tidak ada tanda-tanda untuk berhenti, angin disertai petir dan guntur menggelegar di langit tak henti-hentinya berlomba seolah-olah mengadu kecepatan dan kekuatan untuk menghantam pondok dan ladang kami karena hanya kami bertiga penghuni pondok di tengah badai hujan itu. Ibu mendekap dan mendekatkan aku pada tungku api serta tangannya yang lembut mengusap-usap kepalaku, lamat-lamat karena kehangatan maka akupun  dengan cepat terbuai dalam pelukkan ibu dan terbang ke negeri impian semua pemimpi.
Aku tersadar dari tidurku dan kubuka mataku, gelap.... lalu kubuka kain yang menutup seluruh tubuhku  mataku menyapu sekeliling pondok, sepi!! mana ibu?? bapak?? aku mulai menangis dan berteriak: "ende.....ende...", ibu buru-buru masuk sambil menundukkan kepalanya  ke dalam pondok dan menggendong aku, "kali bao to'on hi nana ga, ta ngo pe'ang tana manga tekur pe'ang roka", ibu merayuku agar aku segera berhenti menangis dan mendengar kata tekur akupun segera turun dari gendong dan berhamburan ke luar pintu. "de di'a nana.. jaga nggelek", ibuku mengingatkan aku agar hati-hati karena baru saja hujan berhenti tentu saja membuat tanah menjadi licin. Sampai di depan pintu aku berhenti sejenak memandang jauh ke seluruh ladang kami, ada seekor burung yang sedang bertengger di atas batu cadas sedang membersihkan bulu-bulunya, kualihkan pandanganku ke tempat dimana jagung kami tumbuh, semua pohon jagung miring ke arah tebing seolah-olah sedang memberi hormat lalu aku perlahan melangkah ke luar karena ibu sudah menggandeng tanganku. Kulihat  bapakku sedang memotong dan menyingkirkan ranting ara yang rubuh akibat angin dan petir tadi agar tidak menghalangi jagung dan tanaman lain yang tumbuh di sekitar pohon ara itu lalu ibu menunjukkan seekor anak burung tekukur yang masih hidup di dalam keranjangnya (roka). Kuulurkan tanganku ke dalam keranjang untuk meraih burung tekukur tapi tak sampai karena keranjangnya besar dan tinggi lalu ibu mengambilnya untukku, "o nana.." aku sangat senang dan kubelai burung tekukur itu dengan lembut yang ternyata masih kecil karena di beberapa bagian dari tubuhnya belum ditumbuhi bulu, mungkin sarangnya tadi tertiup angin sehingga membuat dia jatuh dan induk tekukur itu tidak sempat melihat atau mungkin saat hujan dan angin datang sudah tidak bersama induknya.

Kami menyusuri tebing, ibuku berjalan di depan lalu aku dan bapakku di belakang, aku melangkah dengan penuh hati-hati karena disamping tanahnya licin juga batu-batu yang tajam serta anak rumput alang-alang yang  tajam seperti jarum sewaktu-waktu siap menusuk, suara gemuruh   sungai wae ncongeng  membuat ibuku berhenti sejenak matanya memandang jauh ke sumber suara yaitu ke arah sungai wae ncongeng "elo.....wae ho'o wa leng keta wa'an", aku berusaha memandang ke arah sungai wae ncongeng tetapi tidak bisa karena dihalangi oleh alang-alang yang tinggi dan pohon-pohon khas ladang lainnya.

Kami tiba di bibir sungai wae ncongeng dan ternyata sudah ada beberapa orang dari kampung sebelah tiba lebih dulu diantaranya  yang saya sangat kenal yaitu ema'd Rina, dia   sedang mencari tempat yang dangkal untuk menyeberang.  Aku lihat ada seekor anjing sibuk sekali lari ke sana kemari sambil menggonggong sesekali dia menuju bibir sungai dan menjilat-jilat air seolah-olah dia haus tetapi hanya beberapa kali jilat lalu lari lagi. Bapakku meletakkan pikulannya yaitu satu ikat besar kayu bakar lalu mendekati  ema'd Rina yang  sedang menusuk-nusukkan sebuah galah  ke dalam sungai mungkin mencari tempat yang dangkal untuk kami seberangi atau mengukur seberapa deras arus sungai, sesampainya bapakku dekat ema'd Rina mereka terlibat dalam obrolan yang kelihatannya serius sekali dan tak lama kemudian mereka berdua berjalan ke arah hulu.

Air terus menetes dari dedaunan pohon beringin yang sangat rindang yang tumbuh di atas batu, suasana di sekitar kami berdiri cukup gelap karena cahaya matahari ditutupi oleh pohon beringin yang sangat rindang, bambu, aren serta pohon lainnya sehingga agak gelap. Orang-orang yang berdiri disekitar bibir sungai berbicara dengan nada tinggi kalau tidak dibilang teriak -teriak karena gemuruh air sungai yang sangat menggema di sekitar tempat kami berada. Aku mulai gemetar karena semakin sore suhu udara  semakin dingin ditambah baju tebal yang kukenakan sebagiannya sudah basah akibat tetesan air dari pepohonan yang jatuh tak henti-hentinya seolah-olah hujan masih saja turun. mungkin ibu merasakan apa yang sedang saya alami maka diapun mendekat lalu mendekap aku sehingga tubuhku merasa hangat, tetapi lama kelamaan tubuhku semakin dingin, hangat yang diberikan ibu tak cukup untuk mengusir dingin yang  kurasakan. Ibuku mulai resah dan berbicara sendiri, aku berusaha mendekap ibu lebih erat lagi agar hangat yang kudapatkan dari ibu semakin bertambah. Ibu melihat ke arah dimana bapak dan ema'd Rina tadi pergi. "ngo nia keta's bo ise so'o ga, toe tara cai's ho'o mole kudut meti'n wae ga",  beberapa saat kemudian muncullah mereka berdua dari celah-celah rimbunan pohon bambu yang sangat rindang, kulihat bapakku dan ema'd Rina sudah basah kuyub, entah apa yang telah mereka lakukan setelah meninggalkan kami semua. Sampai di tengah di mana kami berkumpul semua orang bertanya kepada mereka berdua apa langkah selanjutnya, apakah bisa nyeberang (limbang) sekarang atau tunggu beberapa saat lagi karena pengalaman sebelumnya ada yang menginap di gua batu (liang watu) dekat sungai sampai air surut atau kembali ke ladang karena arus sungai tak kunjung surut. Bapak memberi isyarat kepada kami semua untuk mengikuti ema'd Rina lalu bapak menghampiri ibu yang sedang menggendong dan mendekap aku,
"ata co'o hi nana", bapakku  bertanya sambil mengusap kepalaku,
"wengger kin bo ga, baca taung baju koen" sambung ibu, "asa limbang nia tite ga?".
"le mai liang ho'o, poka betong lami bo  kudu pande jembatan"
Isi keranjang ibu dikurangi oleh bapakku karena mengingat ibu akan menggendong aku, kami berjalan beriringan seperti bebek digiring para gembalanya meniti jalan setapak di bawah rimbunan rantig-ranting bambu, ibu menggendong keranjang dibelakang punggung dan menggendong aku didepannya, tangan kirinya tak pernah lepas untuk mendekap aku dan tangan kanannya berfungsi untuk memegang rumput atau pohon dalam perjalanan karena jalannya sangat licin. Sampai di ujung jembatan buatan bapak dan ema'd Rina kami mengantri untuk meniti tiga buah bambu yang sudah diikat menjadi satu sehingga cukup kuat untuk kami lalui. Kami semua sudah berhasil menyeberang melalui jembatan bambu tadi dan semua berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke rumah tetapi ema'd Rina masih berteriak memanggil anjingnya yang tadi lari-lari di pinggir sungai, "onnnnggg rangko.......",
"cala kole sale sekang'y bo acu hitu'g ta.... toe manga denge lolo'n ga", ternyata bapak juga mengkwatirkan akan keselamatan dari anjingnya ema'd Rina, "ole....ema'd Rina, pado kami to... leng ces hi nana e..", sambung bapak.
"eng e.... pado ki's meu, onnnnnnnnnggg rangko...." dan kami pun meninggalkan ema'd Rina sendirian yang tak henti-hentinya memanggil anjingnya.


11 Oktober, 2009

TAKO TIMUNG



Eme ngo le beo ko kole lau asrama ami pasti rokot ci'e. Toe kole te ba le mbaru ko ba lau asrama ci'e ho'o, pokonya manga kaut! Lage jembatan Tengkutok manga uma rana salang besili, bae kaut eme ngasang uma rana, do keta weri one uma hitu le ata ngaran, manga : woja, sela, pesi, latung, tete daeng, tago agu ndesi. Ca keta ata nanang dami one uma hitu. timung !!
Eme lako agu ata do, ami hejol keta, ngo-ngong sengaja keta ka'eng neho pale laud koe taung lawa do situ. Cai one lupi uma rana hitu, lelo le.. lelo lau.. toe manga ata liba, pesot one pu'u sensus sili'n agu manga muing pate ata laseng lako d'ami, nggokok hitu sili'n sambil tuluk pu'u timung, pua, na'a one bombol, ita, pua kole na'a one bombol, co'o haid keta uma de ru, suit le konco lau mai, ngong nggo'o emo ga.
Cai eta golo To'e, lonto paka di'a, ka'ur timung one mai bombol, gugum ci'e one lime leo, Le Ngasang De Ema agu De Anak agu De Nai Nggluk, Amen. Cau timung detak one ci'e,  wincang, wincang, wincang kole taung timung ca mongko, becur tuka le hang timung, timung tako.
Rapak sabtu kole, cai konco ata ca nai keta, ca nai cama tako. Pas kole ba srigen du hitu ata weli weru lau toko di baba Staik. Ci'e toe hemong. Cai le uma timung (uma hiop bo e) lako one langang sili'n ai sale main puar kin toe manga uma laing'n. sopan keta lako, pesot, toe ngaok hitu sili'n, toe manga ita timung, sili-sili. "Ngo nia meu e" neho weter!! rodo ciek kaut ata Tu'a ema musi mai, selek kope, gipi muwang, rigit wulu wa'i, ngeo pa'a, mese tu'us, birok tuka'n. Wale agu jejer wa'i daku ai neho weter agu rantang.
 "Ngo...ngo wa ho'o ba srigen so'o".
 "Cala kudu tako timung meu e..".
 "Toe o... ite, ai manga leng timung no'o a.." pisik reis kole
"Eng nge, manga! landing pu'ud kanang kali ga, tako lata taung wua'd".
"Ole.... kurang ajar tu'ung ata situ e.. amang, asa! terus di kami a !!" toe wale'n kraeng hitu lako ngger awo kole'y. Terus kami sili'n ai ritak agu rantang kudu't kole eta salang mese. Cai sili lupi uma hitu, bingung...? toe manga salang....., nekat! keda puar sensus ata do keta's, rembeb... karak hitu wa'n, cai wa, tente kole one watu riti... pasar one nai kaut, rengit ranga.... pasur wa'i......... hamar riti...., untung toe reca. Pas conga nggrete..
"ole.... kali ngampang keta bo ho'o eta mai e... " toe wale le konco, ngetuk kaut.
"asi tako timung leso ho'o e.. am leso toe di'a, sabtu musi kauddi, neho pale ina reu.
Toe leli.................. 

06 Oktober, 2009

Fobia Oto

Ada dua nama oto yang kami takuti pada saat kami masih usia anak-anak. Yang pertama oto di Wonggor dan yang kedua oto clombo. Oto di Wonggor menurut ceritera dari para orang tua yang kami dengar adalah oto siluman atau yang dikenal dengan sebutan setempatnya oto'd empo dehong atau empo gorak dan kalau anak kecil melintas di jalan raya sendirian maka anak itu akan segera diculik dan di bawa ke negeri antah berantah untuk dijadikan santapan raja. Lalu yang kedua yaitu oto Clombo. Oto clombo sama menakutkannya dengan oto di wonggor. Sama-sama kalau ketemu anak kecil akan segera diculik dan dimana akan  dibangun sebuah jembatan maka disitulah anak kecil tadi akan dibunuh dan darahnya disiram di atas campuran pasir dan semen yang akan membangun jembatan serta kepalanya akan ditanam ditiang utama jembatan agar jembatan tersebut nantinya akan kuat dan bertahan lama.
Sehingga kami hampir tidak pernah jalan sendirian di jalan raya. Kalaupun terpaksa tentunya dengan super hati-hati dan penuh rasa takut sehingga fungsi telinga harus betul-betul dipertajam kalau-kalau ada suara oto yang akan menghampiri. Begitu mendengar raungan suara oto (karena jalannya rusak) dan bahkan honda sekalipun (semua jenis dan merek motor kita sebut honda, contohnya honda yamaha maksudnya motor yamaha, honda suzuki, honda binter dll) maka kami segera mencari tempat yang aman untuk bersembunyi terkadang sembunyinya lama karena oto itu tidak kunjung datang atau lebih sialnya dikiranya oto itu masih jauh maka dengan penuh keberanian kami keluar dari persembunyian tetapi ternyata raungan oto itu dekat maka tanpa melihat atau mencari tempat yang aman lagi langsung membuang diri sekuat-kuatnya ke dalam hutan atau rimbunan pepehonan. Tanpa peduli mau jatuh di tengah-tengah semak berduri, di atas bebatuan, terbentur pohon dan bahkan ke dalam jurang dan tetap di situ sambil menahan rasa sakit dan nyeri sampai oto itu berlalu dan suaranya sudah tidak kedengaran lagi barulah perlahan-lahan kami keluar dari tempat persembunyian.
Kalau jalan bersama dengan orangtua kami, begitu mendengar suara oto kami segera mencari tempat yang aman tentunya tidak sembunyi lagi hanya sibuk mencari tempat yang aman dan nyaman walaupun otonya masih sangat jauh. Kalau diseberang jalan kurang nyaman maka segera lari ke seberang, sampai di seberang  mungkin orangtua melihat posisi kita tidak aman maka mereka memanggil sambil teriak dan marah-marah, kami lari lagi ke seberang dimana orangtua berdiri begitu sampai dekat mereka pasti mendapat hadiah: cubit, jitak, telinga dijewer, kepala diketok atau disabet dengan ranting pohon lalu memegang lengan kita dan meremasnya sehingga kita merasa kesakitan. 
Kalau ada oto masuk kampung (biasanya oto-oto yang angkut batu dan pasir untuk pengerasan jalan atau  sedang ada pembangunan gedung sekolah) biasanya pertama-tama kami lihat dari jauh karena penasaran maka dekat, dekat dan semakin dekat lalu mengamati secara seksama dan dalam tempo yang sepuas-puasnya, melihat dari berbagai sisi kadang sekali-sekali meraba, bertanya dan bahkan berdiskusi versi kami anak kecil tentang oto yang ada di hadapan kami, tetapi tidak menemukan jawaban yang pasti karena sama-sama tidak tahu, yang agak nakal mencoba naik melalui ban belakang, anak yang berhasil sampai di atas bak oto mencoba melihat ke sekitar atau menunjukkan kebanggaanya bahwa dia sudah naik oto dan kalau ketahuan maka dimarahi habis-habisan oleh orangtua yang melihatnya walaupun itu bukan ayah atau ibunya sendiri. Sementara sopirnya membiarkan kami mengitari oto itu atau kadang juga mereka sengaja pamer di kampung. Apalagi kalau yang datang oto conggat (oto yang kalau menurunkan batu atau pasir cukup buka penutup belakang bak bagian bawah lalu bagian depan bak dengan sistem hidrolic terangkat maka muatannya terjatuh, seperti tampak di samping.

Semakin seringnya oto masuk kampung maka mulai tergusur rasa takut kami terhadap oto, dan bahkan belakangan kami diperbolehkan naik oto oleh sopir kemana saja oto itu pergi terutama kalau ke arah dimana tempat kami sering mancari kayu bakar dan pulangnya kadang naik oto itu lagi dan seringnnya kami jalan kaki beramai-ramai dan kami menikmati itu.  Tetapi tetap saja kalau ketahuan sama orangtua kami pasti dimarahi dengan berbagai alasan yang menurut mereka para sopir itu awal-awalnya baik dan ramah kepada kita dan ujung-ujungnya nanti bakal ada seorang anak yang akan diculik. Ternyata sampai oto-oto itu menghilang dari kampung atau berpindah tempat yang agak jauh dari kampung kami belum pernah terjadi atau mendengar berita kehilangan anak yang diculik entah oleh oto di wonggor ataupun oto clombo.
Ceritera oto di wonggor dan oto clombo yang disampaikan oleh orangtua kami merupakan suatu sock terapi agar kami selalu berhati-hati di jalan, mungkin orangtua sudah meramal bahwa dikemudian hari akan ada oto yang lalu-lalang di kampung kami, karena tebukti sekarang anak-anak pergi sekolah selalu naik oto yang  jaraknya tidak terlalu jauh, karena jarak yang sama, dulu  kami tempuh dengan jalan kaki. 
Karena perkembangan jaman maka rasa takut terhadap oto sudah hilang, bahkan setiap hari melihat oto dan naik oto, kalau menyeberang tidak perlu huru-hara lagi, cukup tengok kiri lirik kanan lalu tancap langkah.

29 September, 2009

Kudut Usang Mese


Buru mese kamping le kebe
mbetar wela haju rebak
Tepo kole haju teno 
pa'u taung saung haju



Mpelar pasat eta awang
Gega taung's kaka lelap
ciek kawe cewo agu riwok
Osok rewung
Nendep, toe nganceng holes



wewet retek
usang le mai kebe
mbeku lime ngaji one nai
rantang ba cala le usang warat
Mori.... ba'eng koe!!!

14 September, 2009

Imus rebok

Lolo acu



one pisa manga kesa ata mai ce'e Jakarta, bae kaut ata melet ngo one kota mese do keta lelo, one nai kaut's na'ad, do keta reis wale kaut's laku. kolepesiar ngo la'at ase ka'e wa ragunan lonto inung kopi le mbaru, reme di'an  tombo, rodo lolo kaut acu pe'ang salang.
mai tae'd kesa hitu : " Camas lolo'd acu situ e.... agu acu one, toe manga logat jakarta'd"
????"""????""!!!!!!




Weli Nuru


Hitu di reme wa'u one mai oto olo mai toko le ruteng, am sua pa di lako, nggerep one ata pika nuru mata, kali lelo kig aku lata pika nuru hitu (ai ranga daku pe reba keta, cai pake baju weru agu sendal bata)
"mai kraeng weli nuru dite so'o kaut" kamping laku hia't  pika nuru hitu ai aku kole kudut weli nuru.
"pisa ce kilo"
"pande suamplima kaut's" agu poro olo kin liha nuru hitu.
mai taen sambil poro nuru hitu,
"ole... kraeng,  ho'o keta di ita ranga, ngo nia slama ho'o", bingung kaku, ai toe bae laku hia, landing kudu lewen tombo ya... wale molor daku.
"o..... kraeng ngo mbeot no'o wa salen, co'o ai bae aku lite..a"
"toe kali ta... kraeng ata reis bon"
"ringi-rangas'me cala't bae bo ga !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"




Ponggal acu.
(nuk almarhum Ignas)


Du hitu aku agu hi Ignas ngo lejong agu toko le mbaru'd ka'e Alex. (Do piara acu le hia sehingga eme manga meka ata mai kawe mbaru diha reis kaut one tukang ojek  pasti nggo'o wale dise "o...............pak Alex anjing"  maksudnya pak Alex yang punya anjing)



Biasa tombo-tombo le mane sambil inung kopi.
"Ole Ignas, ponggal acu meu to'ong wie ta, do bail'd  acu so'o pe'angge!" tae'd ka'e Alex,
"Ole...... om, rantang keta kaku ponggal acu jakarta e..."
"ai co'o tara nggitu'n ta" reis de ka'e Alex agu werus rongko'n.
"bo'm acu one, ai koing kaut's mai's ga, acu jakarta tong am hitu reme cau sembore dite, buka ragam dise ga"
"ole... Ignas"
 le'ok taung kami
"nggo'o kaut tae ta.. toe nganceng ponggal acu kaku"



Manuk lalong


Co'o leng le momang nara, kudut mbele manuk landing toe kong ga, ai ho'o kudut lako ngger sale jakarta. Le momang weta kole ga,boto kecewa's ngasang nggo'o com ba kaut manuk hitu ga cai lalong mese ata laseng taji'n lise,eme mbele pasti do nuru'n (na'a..... keta wa pate keot ritak), ba hae...........ng keta sale jakarta.
sampe ce minggu liwing terus manuk hitu. momang laing kole'y ngasang ledo kudu elor kin kawe hang le run. sina mai mbaru hitu manga kole tetangga ata piara manuk, landing dise manuk  "gaul", toe langkas'n agu reme koen.
hitu di pesot lelo situasi pe'ang mai kena manuk lalong dami, maid' manuk koe hitu sina mai ya, jeker, siap kudut rani. da'et lalong mese dami, toe wuli. (ngo'o tae dami, de..... lagak de manuk koe hio ya, elo...n keta to'ong)




tekar manuk koe hitu kudut nanang cecar lalis de manuk lalong dami landing toe haeng, ai langkas, eta bail, landing.. pu'ung mesot musi-musi lalong dami. woko mesot lalong mese hitu, mai manuk koe hitu tenggok wa'in poli hitu lelo ranga 'ole...... eok de manuk lalong dami ya, a..gu losin. dolong terus le manuk koe hitu sampe one lengat tembok. toe kong wuli'n nitu ga. mai manuk koe hitu cecar terus iko'n, eok terus manuk i.
Ngo kaku pea'ngn sik manuk koe hitu.
"ole.... manuk bapa, cekelaing manuk beo, com mbeleg manuk ho'o ga"
Awo mai mbaru manga uma, tana data mai kami weri tete daeng. Poli mbele'n laku manuk hitu, lego, na'a wa pu'u daeng situ, aku emi haju agu manga balok koe ata do keta's nitu. wa'n siram minyak tana, kacik pemantik, ganggor dila api. sompo laku manuk hitu mendo keta'y, na'a one api. nggitu kaut hena dila api manuk hitu, tekar, wuli, wencok, wendat, wedak, wentang we....we..    wecak taung haju ata dila ki'd, aku kole tekar cama neho manuk hitu, cama-cama rantang api. losi manuk hitu wa... pu'u daeng laun dila kin api one lebe'n agu titik kin dara'n one mai bokak'n. dolong daku ho'ot nggo'o a !, tepo taung daeng rantang daku am toe kaut haeng  laku to'ong. ka'eng kin one pu'u muku manuk hitu ga, am mael gi. emi kaut haju daku, mbaut, tep,tep,tep, mborek muing ulu'n, leng keta cempeng ga. Nai koe'n kesep hang nuru manuk. 
nggitu kaut ga ai kudu hang nuru kami ga, 


NEHO WETER


 ca sua teti nai daku, leng keta mael agu kolang leso, untung manga mbau haju leleng nitu, aku iling one mbau haju hitu. bo kete masa wae landing toe manga ngalor ko ngali ko libo. bo manga anang koe ata reme gega, lading reis laku toe wale'd, bo manga ise inang agu amang landing nehot manga perlu'd le, manga perlu' lau, toe lelo aku. reme keta bingung lelo ise gaku, rodo ngorong kaut oto olo mai aku, "grogol.... grogol..." ciekd de konjak. itu po sadar kaku kali toe one beo daku bo ho'o ga.




31 Agustus, 2009

"Tombo Turuk" riwayatmu dulu


Tiba-tiba lamunanku terbang jauh ke beberapa tahun yang lalu, saat-saat masih dibelai manja oleh ibuku kala malam menjelang tidur. Terkadang ibuku senandung kecil, mengeluarkan suara sehalus dan sepelan mungkin agar aku cepat terbuai mengarungi lautan malam dan berenang dalam mimpiku. Aku paling suka mendengar ibuku menceriterakan sebuah dongeng (selanjutnya kita sebut tombo turuk) terkadang aku memintanya atau bahkan selagi ibuku bersenandung meninabobokanku, aku melarangnya lebih baik aku dengarkan tombo turuk. Ibuku cukup banyak mengoleksi tombo turuk dan cukup pandai menceriterakannya, diantaranya yang saya masih ingat judulnya; Empo poti mese, timung te'e. hi pondik, tara ciri kode, hi rukus dan satu lagi legenda yaitu tentang loke nggerang.
Sekitar umur enam atau tujuh tahun saya jarang tidur bersama ibu dan bahkan sudah tidak pernah lagi. Saya tidur bersama kakakku karena sudah biasa mendengarkan ibuku tombo turuk maka akupun meminta dan bahkan sedikit memaksa agar kakakku menceriterakan kepadaku tombo turuk. Semua kakakku juga lumayan pandai untuk menceriterakan sebuah tombo turuk dan mempunyai beberapa koleksi yang tentu saja mendengar ceritera dari ibu. Terkadang aku dan teman-teman berkumpul atau bermalam disuatu rumah, menjelang tidur biasanya kami juga menceriterakan sebuah tombo turuk, untuk memulai ceritera diadakan undi dengan cara pom-mpi-lang-sut dan dua orang yang terakhir dengan sus-sus-ten maka yang kalah dia yang lebih dulu ceritera lalu disusul dengan teman sus-sus-ten-nya. Si penceritera dengan semangatnya ceritera tombo turuk yang lain mendengar atau diam-diam larut dalam tidur, sesekali si penceritera tanya apakah temannya masih sadar kalau ada yang menjawab maka ceritera berlanjut atau dia sendiri sudah ngantuk berat dengan sendirinya tertidur pula.
Itulah sebagian kecil indahnya masa kecilku dan saya kira anak-anak di manggarai seusia itu pasti mengalami apa yang saya alami.
Lain dulu lain sekarang!!!
Saya sering pulang ke manggarai hampir setiap tahun (bukan survei tentang tombo turuk tentunya). Ingin rasanya mendengar para orang tua meninabobokan anaknya dengan tombo turuk tetapi itu semua sudah tidak pernah saya dengarkan. Para orangtua dan anak-anak pada malam hari masing-masing mempunyai kesibukan sendiri. Para orangtua entah karena lelah kerja seharian sehingga mereka enggan berceritera tombo turuk kepada anak-anaknya ataukah anak-anak mereka enggan mendengar tombo turuk yang menurutnya kurang menarik karena tidak diperagakan dan divisualkan seperti apa yang mereka saksikan di pesawat televisi ataukah sudah hilang dari ingatan para orangtua, tombo turuk yang pernah mereka dengarkan dari ibu atau bapak mereka. Sementara anak-anak mereka setelah makan malam pelan-pelan menghilang dari cahaya remang-remang lampu pelita lalu menyusup di tengah kegelapan malam menuju rumah tetangga yang mempunyai pesawat televisi.
Yang menjadi pertanyaan yang tersimpan dalam hati saya "kemana dan kepada siapakah tombo turuk akan diwariskan?", memang pada waktu ibuku berceritera aku mendengarkannya dengan cermat dan sedikit melamun dengan harapan cepat larut dalam tidur. Setelah kepalaku bisa berpikir untuk mencerna apa yang disampaikan melalui tombo turuk ternyata banyak mengadung pesan yang tersirat dalam setiap ceritera tombo turuk, misalnya tombo turuk hi Pondik, secara harafiah memang hi Pondik seorang pemalas yang mempunyai banyak akal bulusnya, itu dari sisi negatif  ada juga dari sisi positifnya bahwa kepada kita diajarkan supaya jangan cepat putus asa harus mencari beberapa langkah atau cara untuk memecahkan suatu masalah atau untuk mengambil sutau keputusan, juga hal ini tidak secara langsung ditanamkan kepada anak-anak kita agar suatu saat jikalau mereka menemukan hambatan dan tantangan mereka dapat mengatasinya dengan kemampuan yang mereka miliki . Tombo turuk hi Pondik hampir merata di seluruh wilayah manggarai, tentu di setiap daerah mempunyai versinya sendiri.
Kenapa hal ini terjadi? memang kita tidak bisa menghindar dari arus modernisasi karena sudah merambat pelan tapi pasti masuk ke pelosok kampung. Dan kita semua sangat antusias menyambut kehadiran alat-alat atau barang-barang yang berbau modern sampai ke ceritera yang latar belakang ceriteranya berasal dari luar manggarai bahkan dari luar negri tetapi kita lupa bahwa kita juga mempunyai ceritera yang tidak kalah menariknya dibanding ceritera-ceritera dari luar yaitu tombo turuk.
Tombo turuk diibaratkan dengan sebuah pesan, yang mana si pembawa pesan harus bertanggungjawab penuh atas pesan itu agar sampai pada orang yang berhak menerima pesan atau bisa saja si pembawa pesan lupa menyampaikan karena satu dan lain hal yang menghalanginya, maka pesan-nya tidak disampaikan kepada yang berhak menerima pesan atau mungkin bisa juga disampaikan tetapi dikurangi atau ditambahkan dengan gaya bahasa si pembawa pesan sehingga dapat mengurangi arti, sehingga tidak sesuai dengan isi pesan yang sebenarnya. Maka oleh sebab itu sebaiknya pesan itu harus melalui media yang mungkin dapat mengurangi kesalahan dan dapat disampaikan kepada tujuan.

Beberapa waktu lalu kraeng Gaby Mahal pernah mangadakan suatu acara yang diadakan di hotel Bidakara (Pancoran, Jakarta) dengan mengusung tema "TAMA CA" dalam acara tersebut ada beberapa lagu rakyat (Manggarai) diparodikan dan mini drama dipentaskan dengan mengambil latarbelakang full budaya Manggarai. Ini harus diacungi dua jempol karena merupakan suatu usaha yang harus kita bangga dan kita tingkatkan, tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit dan semangat juang yang tinggi karena boleh dikatakan perkerjaannya melelahkan dan tidak ada untungnya hanya demi melestarikan budaya manggarai. Demikian halnya juga dengan tombo turuk tidak hanya dijaga mesti dilestarikan, tidak hanya dilestarikan mesti diwariskan, kepada siapa? ya.. kepada anak cucu kita.
Bagaimana caranya ?
Mari kita pikirkan.

02 Agustus, 2009

EMET NEHO



Ende, ho'o mane'n tana sale
Ende, hio tuan gerak wulang
Kudut pars ntala ga
Baos ciekd kaka wie

Ami tundur toe main tuju
Wekar matag gereng senget
Embong de edeg

Ende, nia reweng embong lemot me
Ende, nia omar momang me
Ende, nia ranga tawa me
Ende.............. niah ga

Ende kali baoy kakor lalong
Hio nera leso gula eta golo
Dendut matag landing toe lemot naig

Ende, katit neho mata leso, le mane kolep, le gula par kole
Ende, katit neho wulang, poli mata mose kole
(hendrik)