Powered By Blogger

26 Februari, 2010

Tombo joak di ema Yosep

Rakang Ende deLulu.

Danong....keta (mede) ine wai agu ata rona toe di bae ngasang pake deko alas (termasuk ata tulis ho'o. hehee..). Ata rona donde pake deko banlon, ine wai deng kaut nae.  Hi Kajung (ende deLulu bentan ho'o ga ai hi Lulu anak ata ngaso'n) ngonde ngo sekolah, mai guru jera hi Yosep (Ema daku) agu manga ca haen hemong laku ngasang'n ga ngo kawe hi Kajung sampe regeng agu dade one sekolah. Kawe one mbaru toe manga terus ngo wa uma dise Kajung, reme keta di'a toko'n hi Kajung one sekang mai ise cua pengkut, bo wuli di Kajung landing cewe tenaga dise't cua. Pongo lise limen agu wa'in, nggaruk haju pering, rakang. hi Yosep musi main, lako coneng wa, ole....kengkel wa kemok taung nae di Kajung, ici nae di Kajung neho ata nginging hia, bo di pisa pa silin ta'ong liha, remon wa ga pencar liha, neho weter hiat olo mai. "ata co'o e.. Osep",  "ae.. mendo bail ne, asi dade'n ga nggo'o kaut tae tong toe regeng".
Neho diang jera ngo kawe kole le guru.


 Ela kina


"Ole.... ite, neka rabo com pesot kig aku toe ta'ong dendut" pamit di Wonsus ai srehang tana ga. Hi ema Yosep bao'g one wongka toe baen lemot ko co'oy ga. Aku kole hirus nggoleng wa loce. Toe di haeng pisa menit wa, denge lami sebek runing pe'ang tana terus uek ela. Mai tae di lopo Yosep (kaling toe di toko'y) : "Wonsus...... toe ela kina hitu e!!!", wale molor kaut di Wonsus pe'ang mai tana, "Ma'u popo.. ela kina",  "leti'p le hau'gta"  aor muing kami ca mbaru, to'o kole ata ngaing toko'n


24 Februari, 2010

Tentara

Suatu hari seorang anak bertanya pada bapaknya,

Anak : Pa...tentara itu kaya apa sih?
Bapak : Tentara itu nak..orangnya tinggi besar, rambut gondrong dan brewokan.

Selang beberapa hari kemudian, muncullah seseorang yang ciri-cirinya sama persis seperti apa yang disampaikan bapak tadi dan anak kecil itu begitu melihat "tentara" tadi lari tunggang langgang sambil berteriak  "ada tentara...ada tentara..." ibunya mendekat, anak tersebut langsung masuk menyusup ke dalam sarung ibunya, hanya beberapa detik dalam sarung ibunya anak itu menghambur keluar dan lebih histeris lagi, dan bapak tanya, "kenapa lagi?", "di dalam juga ada tentara" sambil menunjuk ke arah sarung ibunya.





22 Februari, 2010

Ongga to

Sepulang mencari kayu bakar dari hutan saya dan teman-teman (saya, Wonsus, Tindong, Sil dan Lius) pulang melewati sawah mungkin dua atau tiga hari yang lalu baru selesai dipanen. Karena hari masih siang kami sepakat untuk istirahat melepas lelah barang sebentar. Daripada duduk bengong maka kami bermain meniup trompet yang terbuat dari batang padi, bosan bermain  meniup trompet kami bermain salto dan guling-gulingan di atas  "lono woja".  Sendang asyik-asyiknya kami guling-gulingan di atas "lono woja" tiba-tiba ada suara memanggil nama saya, "Iku....Iku....elo...ular mese hio eta", serentak saya dan teman-teman menoleh ke arah sumber suara dan bergegas lari menghampiri Udis dan Seli yang sedang memandang dan menunjuk-nunjuk ke arah tebing bekas longsor. Sesampainya kami di tempat Udis dan Seli berdiri mereka menunjuk ke arah tebing bekas longsor tadi di mana seekor ular besar sedang berjalan berliuk-liuk di sela-sela tanah yang sudah kering karena sedang musim kemarau. Kelihatannya ular tersebut sangat bersusah payah berjalan karena setiap dia bergerak maka tanah yang kering segera jatuh ke dasar tebing. Kami semua asyik melihat pemandangan itu, mencoba melemparinya dengan batu setiap kali ada batu yang jatuh dekatnya maka ular itu pun berhenti lalu kami melemparinya lagi berharap ular itu jatuh menyusuri tebing.
Selang beberapa saat kemudian apa yang kami harapkan ternyata benar-benar terjadi. Ular tersebut terpeleset karena tanah kering yang dia lalui terpecah membuat dia jatuh menyusuri tebing. Melihat dia jatuh kami berlima berteriak kegirangan sedangkan Udis dan Seli lari menjauh. Kami berlomba melempari ular tesebut dengan batu entah berapa kali lemparan yang kami lakukan apakah ada yang kena atau tidak karena asal lempar saja kami tidak tahu persis, sampai di dasar tebing ular tersebut diam tak bergerak, kami berpikir mungkin dia sudah mati maka pelan-pelan kami mendekat, kami perhatikan ada beberapa bagian tubuhnya mengeluarkan darah, mungkin mendengar langkah kami  ular tersebut bergerak dan kami serentak mundur, semua jadi takut tidak ada lagi yang mau lempar atau berani untuk memukul mati ular itu, satu sama lain saling menyuruh tetapi tidak ada satu pun diantara kami yang berani. Ular itu pelan-pelan jalan sambil meninggalkan bekas darah dan masuk ke semak rumput kemudian menghilang. Karena hari semakin sore dan suasana di sekitar sawah sudah mulai gelap maka kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Satu bulan kemudian kami sudah melupakan kejadian itu, Wonsus terkena panas tinggi kata ibunya semalaman dia sering mengigau dan mengeluarkan suara mendesis persis seperti suara ular. Lalu keesokan harinya disusul Sil, saya, Lius lalu Tindong dengan gejala penyakit yang sama, para orang tua kami tidak merasa curiga kenapa kami mengalami gejala yang sama karena rumah kami satu sama lainnya cukup jauh. Selama satu setengah bulan saya mengalami panas tinggi dan demam selalu pingin tidur tengkurap dan tangan mendepa, bapak dan ibuku bergantian begadang karena saya jarang sekali tidur, mata selalu melotot sesekali berkedip. Sudah bermacam-acam obat-obatan tradisonal yang dicekokin pada mulutku sebagiannya melumuri tubuh, tetapi selama itu tidak memberi dampak kesembuhan. 
 Memasuki penghujung bulan yang ke dua kondisiku sudah mulai membaik, sudah bisa duduk normal layaknya orang sehat sesekali minta sesuatu yang saya inginkan. Lius dan Tindong hanya mengalami panas, demam dan mengigau satu minggu lebih setelah itu sembuh, sedangkan Wonsus dan Sil belum ada perubahan, badan kurus, kulit tubuh mengelupas, kepala mengecil, rambut mulai rontok, bahkan Wonsus rambutnya sudah habis, kepalanya botak mengkilat. Para orangtua sudah mulai kwatir dan bingung apa yang akan dilakukan karena pengobatan selama ini tidak membawa dampak positif bagi kami bertiga terutama Wonsus dan Sil.
Tersiar kabar bahwa kami pernah melakukan ongga to ular (memukul tidak sampai mati hanya mencederai saja) lalu bapakku mengkonfirmasikannya pada saya, saya mencoba untuk mengingat-ingat kejadian itu karena belum bisa untuk konsentrasi penuh serta badan masih lemah lalu saya mengatakan ya, kami pernah melakukan "ongga to ular le Lesi". Maka bagi orangtua jelas sudah sumber penyakit yang kami derita selama ini.
Para orangtua dan beberapa kerabat sepakat untuk melakukan ritual peler di tempat di mana kami ramai-ramai melempar ular. Setelah melakukan ritual "peler", secara ajaib tiga hari kemudian kondisi saya membaik dan berangsur-angsur pulih juga Wonsus dan Sil, mungkin dua minggu setelah ritual "peler", kami bertiga sudah benar-benar sembuh tentu dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya, terutama Wonsus dan Sil, badan kurus, kepala plontos.Selama mengalami penderitaan itu tentu saja kami tidak masuk sekolah, seingat saya kejadiannya waktu saya kelas empat SD, sampai hari ini saya masih ingat.

14 Februari, 2010

Playboy Kampung

Baru saja hujan berhenti dan hari sudah menjelang sore dimana waktunya untuk pulang  setelah seharian bekerja di kebun. Pak Tolo sedang mengemas barang-barang hasil kebun untuk di bawah  ke rumah di mana  anak dan istri sedang menanti. Setelah beberapa menit dia berjalan dia mendapati Ibu Runge yang sedang bersusah payah berjalan karena memikul beban yang begitu berat. Di punggung menggendong keranjang yang penuh dengan ubi, daun singkong  dan pakan untuk babi piaraanya, tangan kiri memegang seikat kayu bakar di atas kepalanya dan tangan kanannya menjinjing bungkusan entah apa isinya. Sebagai tetangga kebun dan tetangga kampung yang baik dan rasa kasihnanya muncul tatkala pak Tolo melihat ibu Runge dalam kondisi seperti itu maka pak Tolo pun menawarkan jasa baiknya untuk membantu meringankan beban yang dipikul oleh ibu Runge. "Ho'o di we'ed kole ite bo a" demikian pak Tolo menyapa ibu Runge. "lengd keta mendo situ bo ga, mai campe laku's pola'd haju situ", "de..di'a eme nggitu ga, asa mendo kali tite" balas bu Runge sambil menurunkan kayu dari atas kepalanya tanpa merasa curiga dan kwatir. Dan mereka pun berjalan beriringan bu Runge di depan dan pak Tolo mengikutinya dari belakang. Hari semakin sore, jalan menuju kampung agak mendaki dan masih lumayan jauh. Lama kelamaan napas  pak Tolo semakin ngos-ngosan bukan karena jalan yang mendaki atau beban yang dipikul terlalu berat tetapi melihat  goyang pinggul yang diperagakan oleh bu Runge karena jalannya mendaki, langkahnya agak cepat seolah-olah menggoda pikiran kotor pak Tolo.. Dalam hati bu Runge berkata : am mael kraeng ho'o musi mai cai pola haju sua hujung. maka tanpa rasa curiga bu Runge pun menyarankan agar istirahat sejenak. "ole Tolo cala mael tite asi di cekoen",  "eng ta...Runge, ina kudut tae nggitu kole bo laku", dalam hati pak Tolo 'Ini kesempatan'.  pak Tolo buru-buru menurunkan kayu dari pundaknya lalu menghampiri bu Runge pura-pura membantu menurunkan keranjang yang digendong bu Runge, bu Runge pun tak mencurigai apa-apa atau sengaja memberikan angin segar kepada pak Tolo sehingga dia membiarkan tangan pak Tolo memegang keranjangnya serta menyenggol sana sini. Sejurus kemudian terjadilah hal-hal yang diinginkan oleh pak Tolo namun tidak diingini oleh bu Runge. Sekuat-kuatnya bu Runge meronta dan berteriak namun jauh lebih kuat dan besar tenaga yang dikerahkan oleh pak Tolo sehingg bu Runge pasrah dan menyerah tanpa mengerang.
Jarak beberapa meter di belang mereka  seseorang sedang mengintip 'pertarungan gulat tanpa ronde'  Runge dilawan/di bawah  Tolo. Tanpa menunggu sampai selesainya 'pertarungan' itu seseorang tadi langsung pulang dan melaporkan kejadian yang telah disaksikannya kepada istri dan suami dari masing-masing petarung dan sepakat untuk melaporkan kejadian itu kepada kepala kampung.
Setelah sampai di kampung mereka langsung dijemput oleh staf kepala kampung lalu disidang di hadapan kepala kampung, suami dan istri kedua 'petarung' dan warga yang sempat hadir. Setelah mendengar kesaksian dari masing 'petarung'  dan saksi kunci maka keputusannya pak Tolo di denda sesuai adat kampung :  ca ela wase lima, ca acu, ca manuk lalong, ce bongko tuak.




03 Februari, 2010

Satu Maju Sepuluh Mundur

Untuk memeriahkan perayaan ekaristi maka diadakanlah tarian persembahan. Para pembawa persembahan berdiri paling belakang dari barisan para penari dan para penari sudah mulai gerakan awal maka lagu persembahanpun di lantunkan serta Pastor melafalkan doa-doa persembahan.
 Pastor sudah melafalkan doa-doanya, lagu persembahanpun sudah selesai dinyanyikan, tapi para penari dan pembawa persembahan belum juga sampai depan altar, semua mata menoleh ke arah para penari, baris paling depan malah mendekati pintu keluar dan tentu baris paling belakang sudah berada di luar gereja yang tadinya sama-sama berdiri  dalam gereja dan tetap melakukan gerakan tarian, ya...karena tariannya itu tadi, satu langkah maju, sepuluh langkah mundur. Akhirnya Parstor teriak melalui pengeras suara, "yang bawa persembahan cepat ke sini, yang mau menari silahkan menari di luar.." Pastor juga manusia, bisa marah.