Sepulang mencari kayu bakar dari hutan saya dan teman-teman (saya, Wonsus, Tindong, Sil dan Lius) pulang melewati sawah mungkin dua atau tiga hari yang lalu baru selesai dipanen. Karena hari masih siang kami sepakat untuk istirahat melepas lelah barang sebentar. Daripada duduk bengong maka kami bermain meniup trompet yang terbuat dari batang padi, bosan bermain meniup trompet kami bermain salto dan guling-gulingan di atas "lono woja". Sendang asyik-asyiknya kami guling-gulingan di atas "lono woja" tiba-tiba ada suara memanggil nama saya, "Iku....Iku....elo...ular mese hio eta", serentak saya dan teman-teman menoleh ke arah sumber suara dan bergegas lari menghampiri Udis dan Seli yang sedang memandang dan menunjuk-nunjuk ke arah tebing bekas longsor. Sesampainya kami di tempat Udis dan Seli berdiri mereka menunjuk ke arah tebing bekas longsor tadi di mana seekor ular besar sedang berjalan berliuk-liuk di sela-sela tanah yang sudah kering karena sedang musim kemarau. Kelihatannya ular tersebut sangat bersusah payah berjalan karena setiap dia bergerak maka tanah yang kering segera jatuh ke dasar tebing. Kami semua asyik melihat pemandangan itu, mencoba melemparinya dengan batu setiap kali ada batu yang jatuh dekatnya maka ular itu pun berhenti lalu kami melemparinya lagi berharap ular itu jatuh menyusuri tebing.
Selang beberapa saat kemudian apa yang kami harapkan ternyata benar-benar terjadi. Ular tersebut terpeleset karena tanah kering yang dia lalui terpecah membuat dia jatuh menyusuri tebing. Melihat dia jatuh kami berlima berteriak kegirangan sedangkan Udis dan Seli lari menjauh. Kami berlomba melempari ular tesebut dengan batu entah berapa kali lemparan yang kami lakukan apakah ada yang kena atau tidak karena asal lempar saja kami tidak tahu persis, sampai di dasar tebing ular tersebut diam tak bergerak, kami berpikir mungkin dia sudah mati maka pelan-pelan kami mendekat, kami perhatikan ada beberapa bagian tubuhnya mengeluarkan darah, mungkin mendengar langkah kami ular tersebut bergerak dan kami serentak mundur, semua jadi takut tidak ada lagi yang mau lempar atau berani untuk memukul mati ular itu, satu sama lain saling menyuruh tetapi tidak ada satu pun diantara kami yang berani. Ular itu pelan-pelan jalan sambil meninggalkan bekas darah dan masuk ke semak rumput kemudian menghilang. Karena hari semakin sore dan suasana di sekitar sawah sudah mulai gelap maka kami pun pulang ke rumah masing-masing.Satu bulan kemudian kami sudah melupakan kejadian itu, Wonsus terkena panas tinggi kata ibunya semalaman dia sering mengigau dan mengeluarkan suara mendesis persis seperti suara ular. Lalu keesokan harinya disusul Sil, saya, Lius lalu Tindong dengan gejala penyakit yang sama, para orang tua kami tidak merasa curiga kenapa kami mengalami gejala yang sama karena rumah kami satu sama lainnya cukup jauh. Selama satu setengah bulan saya mengalami panas tinggi dan demam selalu pingin tidur tengkurap dan tangan mendepa, bapak dan ibuku bergantian begadang karena saya jarang sekali tidur, mata selalu melotot sesekali berkedip. Sudah bermacam-acam obat-obatan tradisonal yang dicekokin pada mulutku sebagiannya melumuri tubuh, tetapi selama itu tidak memberi dampak kesembuhan.
Memasuki penghujung bulan yang ke dua kondisiku sudah mulai membaik, sudah bisa duduk normal layaknya orang sehat sesekali minta sesuatu yang saya inginkan. Lius dan Tindong hanya mengalami panas, demam dan mengigau satu minggu lebih setelah itu sembuh, sedangkan Wonsus dan Sil belum ada perubahan, badan kurus, kulit tubuh mengelupas, kepala mengecil, rambut mulai rontok, bahkan Wonsus rambutnya sudah habis, kepalanya botak mengkilat. Para orangtua sudah mulai kwatir dan bingung apa yang akan dilakukan karena pengobatan selama ini tidak membawa dampak positif bagi kami bertiga terutama Wonsus dan Sil.
Tersiar kabar bahwa kami pernah melakukan ongga to ular (memukul tidak sampai mati hanya mencederai saja) lalu bapakku mengkonfirmasikannya pada saya, saya mencoba untuk mengingat-ingat kejadian itu karena belum bisa untuk konsentrasi penuh serta badan masih lemah lalu saya mengatakan ya, kami pernah melakukan "ongga to ular le Lesi". Maka bagi orangtua jelas sudah sumber penyakit yang kami derita selama ini.
Para orangtua dan beberapa kerabat sepakat untuk melakukan ritual peler di tempat di mana kami ramai-ramai melempar ular. Setelah melakukan ritual "peler", secara ajaib tiga hari kemudian kondisi saya membaik dan berangsur-angsur pulih juga Wonsus dan Sil, mungkin dua minggu setelah ritual "peler", kami bertiga sudah benar-benar sembuh tentu dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya, terutama Wonsus dan Sil, badan kurus, kepala plontos.Selama mengalami penderitaan itu tentu saja kami tidak masuk sekolah, seingat saya kejadiannya waktu saya kelas empat SD, sampai hari ini saya masih ingat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar