Powered By Blogger

31 Agustus, 2009

"Tombo Turuk" riwayatmu dulu


Tiba-tiba lamunanku terbang jauh ke beberapa tahun yang lalu, saat-saat masih dibelai manja oleh ibuku kala malam menjelang tidur. Terkadang ibuku senandung kecil, mengeluarkan suara sehalus dan sepelan mungkin agar aku cepat terbuai mengarungi lautan malam dan berenang dalam mimpiku. Aku paling suka mendengar ibuku menceriterakan sebuah dongeng (selanjutnya kita sebut tombo turuk) terkadang aku memintanya atau bahkan selagi ibuku bersenandung meninabobokanku, aku melarangnya lebih baik aku dengarkan tombo turuk. Ibuku cukup banyak mengoleksi tombo turuk dan cukup pandai menceriterakannya, diantaranya yang saya masih ingat judulnya; Empo poti mese, timung te'e. hi pondik, tara ciri kode, hi rukus dan satu lagi legenda yaitu tentang loke nggerang.
Sekitar umur enam atau tujuh tahun saya jarang tidur bersama ibu dan bahkan sudah tidak pernah lagi. Saya tidur bersama kakakku karena sudah biasa mendengarkan ibuku tombo turuk maka akupun meminta dan bahkan sedikit memaksa agar kakakku menceriterakan kepadaku tombo turuk. Semua kakakku juga lumayan pandai untuk menceriterakan sebuah tombo turuk dan mempunyai beberapa koleksi yang tentu saja mendengar ceritera dari ibu. Terkadang aku dan teman-teman berkumpul atau bermalam disuatu rumah, menjelang tidur biasanya kami juga menceriterakan sebuah tombo turuk, untuk memulai ceritera diadakan undi dengan cara pom-mpi-lang-sut dan dua orang yang terakhir dengan sus-sus-ten maka yang kalah dia yang lebih dulu ceritera lalu disusul dengan teman sus-sus-ten-nya. Si penceritera dengan semangatnya ceritera tombo turuk yang lain mendengar atau diam-diam larut dalam tidur, sesekali si penceritera tanya apakah temannya masih sadar kalau ada yang menjawab maka ceritera berlanjut atau dia sendiri sudah ngantuk berat dengan sendirinya tertidur pula.
Itulah sebagian kecil indahnya masa kecilku dan saya kira anak-anak di manggarai seusia itu pasti mengalami apa yang saya alami.
Lain dulu lain sekarang!!!
Saya sering pulang ke manggarai hampir setiap tahun (bukan survei tentang tombo turuk tentunya). Ingin rasanya mendengar para orang tua meninabobokan anaknya dengan tombo turuk tetapi itu semua sudah tidak pernah saya dengarkan. Para orangtua dan anak-anak pada malam hari masing-masing mempunyai kesibukan sendiri. Para orangtua entah karena lelah kerja seharian sehingga mereka enggan berceritera tombo turuk kepada anak-anaknya ataukah anak-anak mereka enggan mendengar tombo turuk yang menurutnya kurang menarik karena tidak diperagakan dan divisualkan seperti apa yang mereka saksikan di pesawat televisi ataukah sudah hilang dari ingatan para orangtua, tombo turuk yang pernah mereka dengarkan dari ibu atau bapak mereka. Sementara anak-anak mereka setelah makan malam pelan-pelan menghilang dari cahaya remang-remang lampu pelita lalu menyusup di tengah kegelapan malam menuju rumah tetangga yang mempunyai pesawat televisi.
Yang menjadi pertanyaan yang tersimpan dalam hati saya "kemana dan kepada siapakah tombo turuk akan diwariskan?", memang pada waktu ibuku berceritera aku mendengarkannya dengan cermat dan sedikit melamun dengan harapan cepat larut dalam tidur. Setelah kepalaku bisa berpikir untuk mencerna apa yang disampaikan melalui tombo turuk ternyata banyak mengadung pesan yang tersirat dalam setiap ceritera tombo turuk, misalnya tombo turuk hi Pondik, secara harafiah memang hi Pondik seorang pemalas yang mempunyai banyak akal bulusnya, itu dari sisi negatif  ada juga dari sisi positifnya bahwa kepada kita diajarkan supaya jangan cepat putus asa harus mencari beberapa langkah atau cara untuk memecahkan suatu masalah atau untuk mengambil sutau keputusan, juga hal ini tidak secara langsung ditanamkan kepada anak-anak kita agar suatu saat jikalau mereka menemukan hambatan dan tantangan mereka dapat mengatasinya dengan kemampuan yang mereka miliki . Tombo turuk hi Pondik hampir merata di seluruh wilayah manggarai, tentu di setiap daerah mempunyai versinya sendiri.
Kenapa hal ini terjadi? memang kita tidak bisa menghindar dari arus modernisasi karena sudah merambat pelan tapi pasti masuk ke pelosok kampung. Dan kita semua sangat antusias menyambut kehadiran alat-alat atau barang-barang yang berbau modern sampai ke ceritera yang latar belakang ceriteranya berasal dari luar manggarai bahkan dari luar negri tetapi kita lupa bahwa kita juga mempunyai ceritera yang tidak kalah menariknya dibanding ceritera-ceritera dari luar yaitu tombo turuk.
Tombo turuk diibaratkan dengan sebuah pesan, yang mana si pembawa pesan harus bertanggungjawab penuh atas pesan itu agar sampai pada orang yang berhak menerima pesan atau bisa saja si pembawa pesan lupa menyampaikan karena satu dan lain hal yang menghalanginya, maka pesan-nya tidak disampaikan kepada yang berhak menerima pesan atau mungkin bisa juga disampaikan tetapi dikurangi atau ditambahkan dengan gaya bahasa si pembawa pesan sehingga dapat mengurangi arti, sehingga tidak sesuai dengan isi pesan yang sebenarnya. Maka oleh sebab itu sebaiknya pesan itu harus melalui media yang mungkin dapat mengurangi kesalahan dan dapat disampaikan kepada tujuan.

Beberapa waktu lalu kraeng Gaby Mahal pernah mangadakan suatu acara yang diadakan di hotel Bidakara (Pancoran, Jakarta) dengan mengusung tema "TAMA CA" dalam acara tersebut ada beberapa lagu rakyat (Manggarai) diparodikan dan mini drama dipentaskan dengan mengambil latarbelakang full budaya Manggarai. Ini harus diacungi dua jempol karena merupakan suatu usaha yang harus kita bangga dan kita tingkatkan, tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit dan semangat juang yang tinggi karena boleh dikatakan perkerjaannya melelahkan dan tidak ada untungnya hanya demi melestarikan budaya manggarai. Demikian halnya juga dengan tombo turuk tidak hanya dijaga mesti dilestarikan, tidak hanya dilestarikan mesti diwariskan, kepada siapa? ya.. kepada anak cucu kita.
Bagaimana caranya ?
Mari kita pikirkan.