Powered By Blogger

03 November, 2009

Sale Roga (di roga)


Alang-alang yang sedang tumbuh subur di awal musim hujan yang terletak di sebelah kanan dari ladang kami sudah rata dengan tanah akibat tiupan angin kencang beberapa hari yang lalu, beberapa hari belakangan ini sesekali turun hujan gerimis tetapi anginnya kecang sekali terkadang tanpa gerimis turun hanya mendung saja anginnya tetap bertiup kencang. Guntur mulai menggelegar disertai petir seolah sedang membelah langit, kulihat pohon dadap, nangka, mangga, alpukat, bambu dan masih banyak pohon-pohon lainnya berlenggak-lenggok serta beradu dahan akibat tiupan angin yang lama kelamaan tiupannya semakin kencang tapi itu semua aku tak perduli, aku sedang asyik membuat jalan agar oto mainan yang telah aku buat bisa lewat, aku juga tak peduli ibu dan bapakku entah berada di sebelah mana mereka menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela jagung (reme ciwal latung) aku hanya asyik menggali serta bernyanyi riang, hujan mulai jatuh di atas kepalaku tapi aku terus menggali. "Nana....................." terdengar suara ibuku sayup-sayup ditengah ladang kami, "io........." aku jawab asal saja karena terlalu asyik dengan mainanku. Hujan semakin deras dan suara ibuku sudah tidak kedengaran lagi, aku berlari menuju pondok yang lumayan jauh dari tempat aku bermain, tiba-tiba terdengar suara ibuku dibelakang "de.......anak daku..." aku membalikkan badan dan sedikit melompot ke dalam pelukan ibu. Ibu menutupi aku dengan redung-nya (redung = sejenis kain atau bahkan handuk yang dipakai untuk menutupi kepala agar terlindung dari kotoran yang mengenai rambut atau sebagai alas menggendong keranjang) sambil menggendong aku dia berlari menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok serta licin akibat terkena hujan yang mulai mengguyur deras, aku memeluk leher ibu erat-erat sambil menahan goncangan karena kadang ibu melompat kecil untuk menghindari batu koral yang cukup tajam,.sampai depan pintu pondok kulihat bapakku melongok keluar sambil ancang-acang mungkin dia mau menyusul ibu mencari aku, begitu melihat ibu menggendong aku kepala bapakku mundur ke dalam pondok membiarkan ibu dan aku masuk. "kraaaaaaaaaakkkkkkkkk..wuusss.." terdengar suara pohon ara rubuh akibat terpaan angin disertai petir yang menyala-nyala ditengah kegelapan akibat hujan yang sangat deras yang menghujam di ladang kami. "ae.....poli paki le pasat ara hitu lau ga!" suara bapakku seolah-olah berbicara sendiri, "de .... keban ara hitu, cai di'a keta pande mbau laing eme leso tik" ibu menimpali sambil menutup aku dengan kain rapat-rapat, dalam dekapan ibu aku tidak bisa bernafas karena ditutupi rapat-rapat, kepalaku bergerak-gerak berusaha mencari celah agar aku bisa bernafas dan ingin menyaksikan apa yang sedang terjadi di luar yang membuat ibu dan bapak merasa ketakutan. Mungkin ibuku paham apa yang sedang saya lakukan sehingga dia membuka kain penutup mukaku, sambil berkata : "neka ngaok nana, usang warat ho'o pe'ang" secara naluri walaupun aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan, aku mendekap ibu erat-erta dan kepalaku tetap menoleh ke arah pintu, kulihat bapakku sibuk menggali selokkan di depan pintu pondok kami karena air hujan berusaha masuk kedalam pondok.
Hujan terus mengguyur pondok kami, tidak ada tanda-tanda untuk berhenti, angin disertai petir dan guntur menggelegar di langit tak henti-hentinya berlomba seolah-olah mengadu kecepatan dan kekuatan untuk menghantam pondok dan ladang kami karena hanya kami bertiga penghuni pondok di tengah badai hujan itu. Ibu mendekap dan mendekatkan aku pada tungku api serta tangannya yang lembut mengusap-usap kepalaku, lamat-lamat karena kehangatan maka akupun  dengan cepat terbuai dalam pelukkan ibu dan terbang ke negeri impian semua pemimpi.
Aku tersadar dari tidurku dan kubuka mataku, gelap.... lalu kubuka kain yang menutup seluruh tubuhku  mataku menyapu sekeliling pondok, sepi!! mana ibu?? bapak?? aku mulai menangis dan berteriak: "ende.....ende...", ibu buru-buru masuk sambil menundukkan kepalanya  ke dalam pondok dan menggendong aku, "kali bao to'on hi nana ga, ta ngo pe'ang tana manga tekur pe'ang roka", ibu merayuku agar aku segera berhenti menangis dan mendengar kata tekur akupun segera turun dari gendong dan berhamburan ke luar pintu. "de di'a nana.. jaga nggelek", ibuku mengingatkan aku agar hati-hati karena baru saja hujan berhenti tentu saja membuat tanah menjadi licin. Sampai di depan pintu aku berhenti sejenak memandang jauh ke seluruh ladang kami, ada seekor burung yang sedang bertengger di atas batu cadas sedang membersihkan bulu-bulunya, kualihkan pandanganku ke tempat dimana jagung kami tumbuh, semua pohon jagung miring ke arah tebing seolah-olah sedang memberi hormat lalu aku perlahan melangkah ke luar karena ibu sudah menggandeng tanganku. Kulihat  bapakku sedang memotong dan menyingkirkan ranting ara yang rubuh akibat angin dan petir tadi agar tidak menghalangi jagung dan tanaman lain yang tumbuh di sekitar pohon ara itu lalu ibu menunjukkan seekor anak burung tekukur yang masih hidup di dalam keranjangnya (roka). Kuulurkan tanganku ke dalam keranjang untuk meraih burung tekukur tapi tak sampai karena keranjangnya besar dan tinggi lalu ibu mengambilnya untukku, "o nana.." aku sangat senang dan kubelai burung tekukur itu dengan lembut yang ternyata masih kecil karena di beberapa bagian dari tubuhnya belum ditumbuhi bulu, mungkin sarangnya tadi tertiup angin sehingga membuat dia jatuh dan induk tekukur itu tidak sempat melihat atau mungkin saat hujan dan angin datang sudah tidak bersama induknya.

Kami menyusuri tebing, ibuku berjalan di depan lalu aku dan bapakku di belakang, aku melangkah dengan penuh hati-hati karena disamping tanahnya licin juga batu-batu yang tajam serta anak rumput alang-alang yang  tajam seperti jarum sewaktu-waktu siap menusuk, suara gemuruh   sungai wae ncongeng  membuat ibuku berhenti sejenak matanya memandang jauh ke sumber suara yaitu ke arah sungai wae ncongeng "elo.....wae ho'o wa leng keta wa'an", aku berusaha memandang ke arah sungai wae ncongeng tetapi tidak bisa karena dihalangi oleh alang-alang yang tinggi dan pohon-pohon khas ladang lainnya.

Kami tiba di bibir sungai wae ncongeng dan ternyata sudah ada beberapa orang dari kampung sebelah tiba lebih dulu diantaranya  yang saya sangat kenal yaitu ema'd Rina, dia   sedang mencari tempat yang dangkal untuk menyeberang.  Aku lihat ada seekor anjing sibuk sekali lari ke sana kemari sambil menggonggong sesekali dia menuju bibir sungai dan menjilat-jilat air seolah-olah dia haus tetapi hanya beberapa kali jilat lalu lari lagi. Bapakku meletakkan pikulannya yaitu satu ikat besar kayu bakar lalu mendekati  ema'd Rina yang  sedang menusuk-nusukkan sebuah galah  ke dalam sungai mungkin mencari tempat yang dangkal untuk kami seberangi atau mengukur seberapa deras arus sungai, sesampainya bapakku dekat ema'd Rina mereka terlibat dalam obrolan yang kelihatannya serius sekali dan tak lama kemudian mereka berdua berjalan ke arah hulu.

Air terus menetes dari dedaunan pohon beringin yang sangat rindang yang tumbuh di atas batu, suasana di sekitar kami berdiri cukup gelap karena cahaya matahari ditutupi oleh pohon beringin yang sangat rindang, bambu, aren serta pohon lainnya sehingga agak gelap. Orang-orang yang berdiri disekitar bibir sungai berbicara dengan nada tinggi kalau tidak dibilang teriak -teriak karena gemuruh air sungai yang sangat menggema di sekitar tempat kami berada. Aku mulai gemetar karena semakin sore suhu udara  semakin dingin ditambah baju tebal yang kukenakan sebagiannya sudah basah akibat tetesan air dari pepohonan yang jatuh tak henti-hentinya seolah-olah hujan masih saja turun. mungkin ibu merasakan apa yang sedang saya alami maka diapun mendekat lalu mendekap aku sehingga tubuhku merasa hangat, tetapi lama kelamaan tubuhku semakin dingin, hangat yang diberikan ibu tak cukup untuk mengusir dingin yang  kurasakan. Ibuku mulai resah dan berbicara sendiri, aku berusaha mendekap ibu lebih erat lagi agar hangat yang kudapatkan dari ibu semakin bertambah. Ibu melihat ke arah dimana bapak dan ema'd Rina tadi pergi. "ngo nia keta's bo ise so'o ga, toe tara cai's ho'o mole kudut meti'n wae ga",  beberapa saat kemudian muncullah mereka berdua dari celah-celah rimbunan pohon bambu yang sangat rindang, kulihat bapakku dan ema'd Rina sudah basah kuyub, entah apa yang telah mereka lakukan setelah meninggalkan kami semua. Sampai di tengah di mana kami berkumpul semua orang bertanya kepada mereka berdua apa langkah selanjutnya, apakah bisa nyeberang (limbang) sekarang atau tunggu beberapa saat lagi karena pengalaman sebelumnya ada yang menginap di gua batu (liang watu) dekat sungai sampai air surut atau kembali ke ladang karena arus sungai tak kunjung surut. Bapak memberi isyarat kepada kami semua untuk mengikuti ema'd Rina lalu bapak menghampiri ibu yang sedang menggendong dan mendekap aku,
"ata co'o hi nana", bapakku  bertanya sambil mengusap kepalaku,
"wengger kin bo ga, baca taung baju koen" sambung ibu, "asa limbang nia tite ga?".
"le mai liang ho'o, poka betong lami bo  kudu pande jembatan"
Isi keranjang ibu dikurangi oleh bapakku karena mengingat ibu akan menggendong aku, kami berjalan beriringan seperti bebek digiring para gembalanya meniti jalan setapak di bawah rimbunan rantig-ranting bambu, ibu menggendong keranjang dibelakang punggung dan menggendong aku didepannya, tangan kirinya tak pernah lepas untuk mendekap aku dan tangan kanannya berfungsi untuk memegang rumput atau pohon dalam perjalanan karena jalannya sangat licin. Sampai di ujung jembatan buatan bapak dan ema'd Rina kami mengantri untuk meniti tiga buah bambu yang sudah diikat menjadi satu sehingga cukup kuat untuk kami lalui. Kami semua sudah berhasil menyeberang melalui jembatan bambu tadi dan semua berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke rumah tetapi ema'd Rina masih berteriak memanggil anjingnya yang tadi lari-lari di pinggir sungai, "onnnnggg rangko.......",
"cala kole sale sekang'y bo acu hitu'g ta.... toe manga denge lolo'n ga", ternyata bapak juga mengkwatirkan akan keselamatan dari anjingnya ema'd Rina, "ole....ema'd Rina, pado kami to... leng ces hi nana e..", sambung bapak.
"eng e.... pado ki's meu, onnnnnnnnnggg rangko...." dan kami pun meninggalkan ema'd Rina sendirian yang tak henti-hentinya memanggil anjingnya.